Dengan itikad baik demi kejayaan dan kesejahteraan
bangsa Indonesia, komunitas Intelijen Indonesia ingin menyampaikan beberapa
tips kepada para pemilih dalam pilpres 2014 bulan Juli nanti. Perlu pula
digarisbawahi bahwa Intelijen harus netral sesuai dengan amanat Undang-Undang
Intelijen No.17 Tahun 2011. Sehingga tips ini tidak dimaksudkan untuk
mengarahkan kepada salah satu pasangan capres/cawapres.
Pertama. Mayoritas
bangsa Indonesia mendambakan kehidupan yang lebih baik, artinya masalah
pembangunan ekonomi dan perbaikan kehidupan sosial menjadi isu krusial yang
akan segera tampak dan terasa dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesungguhnya
tidak identik dengan konsep ekonomi kerakyatan yang tidak jelas secara teori
ekonomi, melainkan lebih merupakan bagian dari keseriusan pemerintah untuk
memutuskan apakah kebijakannya akan berpihak kepada pengembangan ekonomi lemah,
ataukah mengandalkan ekonomi pasar yang ditopang oleh konglomerasi dengan
mendorong terjadinya trickle down effect, ataukah memperbesar peranan
pemerintah yang berarti menyeimbangkan ekonomi pasar murni tanpa terjerumus ke
dalam sistem ekonomi sosialis-komunis yang mana ekonomi sepenuhnya dikendalikan
pemerintah. Pilihan model pembangunan ekonomi Indonesia tersebut akan sangat
tergantung pada arsitek ekonomi yang akan mengisi posisi penting di
pemerintahan. Presiden pada umumnya tidak mengurusi secara detail sehari-hari
isu tersebut, namun akan mengambil keputusan penting yang berpengaruh terhadap
kesejahteraan rakyat. Perhatikan misalnya bagaimana kiprah tokoh-tokoh yang
masuk bidang ekonomi yang pernah dipilih oleh Presiden SBY dalam beberapa
perombakan kabinet jilid I dan II seperti Boediono, Sri Mulyani, Fahmi Idris,
Mari Elka Pangestu, Jusuf Anwar, Aburizal Bakrie, Paskah Suzetta, Andung
Nitimiharja, Hatta Rajasa, Agus Martowardoyo, Chatib Basri, MS Hidayat, Gita
Wirjawan, Muhammad Lutfi, Armida Alisjahbana, dan Mahendra Siregar, ada
kemiripan karakteristik mereka yakni kehati-hatian dalam pengambilan kebijakan
di bidang masing-masing. Selain itu, kecenderungan untuk percaya dengan sistem
ekonomi pasar (yang oleh sebagian kalangan dilabelkan sebagai neo-liberal)
mampu diseimbangkan dengan peranan terbatas dari pemerintah dalam menjaga
stabilitas. Pilihan Presiden SBY boleh dikatakan sangat tepat pada khususnya
pada jilid I yang merupakan cerita sukses awal kebangkitan ekonomi Indonesia paska
transisi dan recovery ekonomi Indonesia era Presiden Megawati. Bahwa masih
banyak yang kecewa dengan situasi ekonomi Indonesia dapat dipahami karena
meskipun catatan statistik yang mengesankan dan mencerminkan keberhasilan
ekonomi makro masih diwarnai fakta angka kemiskinan, kurang meratanya
kesejahteraan dan sejumlah masalah khususnya kasus korupsi. Dalam kaitan ini,
perhatikan sungguh-sungguh bagaimana konsep pembangunan ekonomi pasangan
capres/cawapres.
Kedua. Masih terakit
dengan isu pembangunan ekonomi di atas, isu domestik/dalam negeri termasuk di
dalamnya berbagai aspek pemerintahan di dalam negeri, hubungan pusat-daerah,
berbagai aspek departemen teknis menyangkut isu kesehatan, pendidikan,
pertanian/peternakan/perikanan, pengelolaan hutan, lingkungan hidup, fasilitas
umum dan sosial, masalah hukum dan HAM serta penanganan kejahatan, keamanan
dalam negeri, komitmen pemberantasan korupsi, kelanjutan reformasi birokrasi,
pengembangan pariwisata, perlindungan budaya lokal, pemeliharaan moral anak
bangsa, konflik komunal, separatisme, terorisme, harmoni hubungan antar agama
dan kepercayaan, lapangan pekerjaan, upah minimum, pengembangan moda
transportasi, pengelolaan kekayaan alam migas dan tambang, modernisasi sistem
pertahanan dan strategi pertahanan nasional, dlsb yang bisa menjadi daftar yang
sangat panjang bila kita ingin teliti dan menjadi negara besar. Dalam kaitan
ini, bila anda ada kesempatan berkonsentrasilah pada bidang yang anda geluti
dan tanyakan kepada para capres/cawapres bagaimana mereka akan merespon atau
merencanakan perbaikan kondisi bangsa di bidang-bidang tersebut. Kita jangan
berhenti pada pertanyaan klise dan kampanye retorika, melainkan sudah waktunya
untuk lebih secara terinci mengungkapkan masalah yang kita hadapi dan dapat
memberikan kepercayaan kepada Presiden/Wapres yang terpilih nantinya.
Ketiga. Juga masih
terkait dengan isu pembangunan ekonomi dan masalah domestik, maka isu luar
negeri merupakan hal yang tidak dapat diabaikan oleh pemerintah karena
Presiden/Wapres siapapun yang akan kita pilih akan merepresentasikan bangsa
Indonesia di kancah internasional. Kaitannya adalah bahwa sebagai nation state
kita akan berinteraksi secara bilateral maupun multilateral, baik di kawasan
maupun di tingkat global. Hal ini terkait dengan konflik (perdagangan,
teritorial, kepentingan), kerjasama (ekonomi, sos-bud, pertahanan, strategis),
kontribusi Indonesia, bantuan internasional, dlsb. Dalam kaitan ini, seorang
Presiden/Wapres harus memiliki kepercayaan diri yang tinggi sebagai representasi
dari bangsa yang besar, penduduk terbesar ke-4 di dunia, penduduk Muslim
terbesar di dunia, negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika
Serikat, negara terbesar di ASEAN, dan berbagai identitas yang melekat kepada
Republik Indonesia dalam pergaulan internasional. Mengenai konsep kebijakan
luar negeri tentunya secara detail merupakan domain dari Kementerian Luar
Negeri, sehingga pilihan Menlu harus tepat yang akan dapat secara efektif
membantu pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia. Diplomat karir yang
memiliki catatan prestasi yang bagus merupakan pilihan profesional yang patut
dipertimbangkan, sementara pilihan dari luar diplomat karis harus memperhatikan
kemungkinan adanya kecenderungan partisan dalam isu internasional yang keluar
dari pakem kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Siapapun
capres/cawapres harus belajar tentang dinamika internasional, dari sisi formal
diplomasi merujuk ke Kemlu dari sisi rahasia dan informasi luar negeri yang
sensitif ke Badan Intelijen Negara (BIN), tentunya pengembangan Kemlu dan BIN
sebagai sumber informasi luar negeri harus terus didukung. Lalu bagaimana
dengan masalah performance Presiden/Wapres di dunia internasional, kepada semua
capres/cawapres perlu mempertimbangkan keseimbangan penggunaan bahasa Inggris
dan bahasa Indonesia sebagai bagian dari promosi kebudayaan Indonesia melalui
bahasa Indonesia. Artinya tidak perlu khawatir dengan masalah bahasa, termasuk
kebiasaan pergaulan internasional. Kita sebagai pemilih, tentunya juga
menginginkan performance internasional Presiden kita ke depan minimal seperti
yang sudah ditunjukkan oleh Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid,
Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Hal ini semoga juga dipelajari oleh
para capres/cawapres kita.
Semoga tiga hal sederhana diatas dapat menambah daya
kritis kita ketika memilih capres/cawapres. Insya Allah bangsa Indonesia akan
mampu memilih yang terbaik bagi bangsa dan negara.
Wednesday, May 14, 2014
0 komentar:
Posting Komentar