Agung Gunawan Sutrisna*
Indonesia kaya akan budaya, dari
33 provinsi yang tersebar di Indonesia, tiap-tiap provinsi itu memiliki
kebudayaan yang berbeda-beda. Kebudayaan Indonesia banyak meliputi
berbagai macam hal, meliputi kesenian, permainan tradisional, bahasa,
pakaian adat (suku), dll. Dengan demikian, Indonesia mempunyai jati diri
yang beragam tak hanya terpaku pada satu wilayah saja. Menurut Pasal 32
UUD 1945, yang berbunyi: “kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah,”
menjadi tolak ukur sejauh mana Indonesia mempunyai keberagaman budaya.
Hal inilah yang menjadi kebanggaan Indonesia sebagai negara berkembang
yaitu mempunyai keberagaman kebudayaan. Kebudayaan-kebudayaan inilah
yang seyogianya harus dilestarikan dan dipertahankan oleh masyarakat
karena tanpa kita sadari bahwa bila melestarikan kebudayaan Indonesia,
berarti kita tidak melupakan sejarah.
Tak banyak orang yang tahu
bahwa keberagaman budaya Indonesia itu seolah-olah menjadi saksi di mana
pada zaman dahulu para leluhur yang telah mendahului kita menjadi
pemeran atau pun ‘boga lakon’ dari semua kejadian sejarah Indonesia.
Sejarah mengatakan bahwa dengan bambu runcing, para pejuang terdahulu
berjuang merebut harkat, martabat dan derajat bumi pertiwi ini menuju
gerbang kemerdekaan. Para pejuang terdahulu berjuang mati-matian dengan
semangat yang membara tanpa mengenal lelah memperjuangkan Indonesia.
Bila peribahasa mengakatan, “Berakit-rakit dahulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian,”
tepat untuk menggambarkan perjalanan Indonesia dari asalnya tertinggal
di masa-masa kelam hingga kini berada pada era kemerdekaan atas hasil
jerih payah ‘berakit-rakit’ para pahlawan.
Salah satu keberagaman
kebudayaan Indonesia yang menjadi warisan sejarah ialah permainan
tradisional. Permainan-permainan tradisional yang dimiliki Indonesia
berbeda-beda, relatif pada di mana letak daerahnya, jadi letak geografis
suatu wilayah memengaruhi keberagaman permainan-permainan tradisional
yang dimiliki oleh Indonesia. Permainan tradisional yang beberapa tahun
terakhir jarang kita temui ialah dampak akan kemajuan zaman yang semakin
hari semakin modern dan permainan tradisional ini mungkin kalah ‘pamor’
dengan permainan anak-anak zaman kini, akibatnya permainan-permainan
ini kini hampir punah bahkan sangat sulit kita temui.
Bebentengan
Bebentengan, salah satu
permainan tradisional ini dulu sangat diminati oleh anak-anak untuk
mengisi waktu libur atau hanya sekadar menghilangkan rasa penat. Bebentengan, di beberapa daerah sering kali dikenal sebagai rerebonan di daerah Jawa Barat, sedangkan di daerah lain juga dikenal dengan nama prisprisan, omer, jek-jekan. Bebentengan sendiri berasal dari kata benteng atau pertahanan. Kata bebentengan adalah Dwipurwa (pengulangan suku kata pertama) dengan memakai akhiran an yang artinya menyerupai atau berbuat seperti atau bukan sebenarnya. Permainan bebentengan
mempunyai relevansi dengan kehidupan masyarakat Indonesia pada zaman
penjajahan Belanda dahulu. Pertahanan Indonesia terhadap Belanda
menggunakan benteng yang akhirnya benteng tersebut dianalogikan terhadap
kehidupan anak-anak lalu lahirlah istilah bebentengan untuk
sebutan permainan tradisional ini. Menurut Yayat Sudaryat, Guru Besar
Sastra Universitas Pasundan Bandung mengatakan bahwa permainan bebentengan sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda dahulu.
“Bebentengan sudah
ada sejak zaman penjajahan Belanda dahulu. Jika bebentengan pada zaman
itu sebagai strategi pertahanan Indonesia terhadap gempuran penjajah
Belanda, maka pada zaman sekarang bebentengan sebagai permainan yang
maksud permainannya tak jauh beda dengan zaman dahulu, yaitu
mempertahankan pertahanan dari serangan musuh,” jelas Yayat.
Persiapan
Awal mula permainan ini ialah
anak-anak yang akan ikut bermain berkumpul di lapangan atau tanah kosong
yang cukup luas, kira-kira seluas lapangan bulu tangkis. Kemudian
anak-anak yang akan ikut bermain dibagi menjadi dua kelompok yang sama
rata, bila kelompok pertama berjumlah empat orang maka kelompok kedua
juga berjumlah empat orang. Biasanya pembagian kelompoknya dibagi dengan
cara suit atau pun hom pim pah.
Peralatan
Pada permainan bebentengan
ini para pemain tidak memerlukan alat-alat khusus, cukup lahan kosong
untuk menjadi pijakan dan batas antara kedua kubu kelompok
masing-masing. Kedua kelompok membuat markas bebentengannya saling
berjauhan, biasanya di sudut lapangan. Misalnya kelompok pertama di
sudut barat maka kelompok yang kedua di sudut timur.
Peraturan
Setiap personil pada kedua kubu
harus menyentuh benteng. Hal ini menandakan bahwa status personil
tersebut adalah baru. Kalau dia agak lama tidak menyentuh benteng, maka
status personil tersebut akan disebut lamo. Personil yang berstatus lamo, dapat dikejar, diburu, dan ditawan oleh personil dari benteng lawan yang berstatus baru. Jika seorang lamo
sedang berada atau berlari di luar benteng dapat menjadi tawanan lawan
jika disentuh oleh personil dari benteng lawan yang berstatus baru.
Personil yang menjadi tawanan
akan berdiri bergandengan di dekat benteng lawan yang menawannya. Para
tawanan tidak dapat lagi bebas memburu atau menyerang sampai mereka
dapat dibebaskan. Para tawanan dapat dibebaskan oleh teman dari
bentengnya dengan cara menyentuh teman-temannya yang menjadi tawanan
tersebut.
Permainan
Awal mula permainan ini dimulai
dengan majunya atau menyerangnya dari salah satu personil tiap kubu
salah satu benteng untuk menantang musuh permainannya. Personil dari
lawan mainnya kemudian balik menyerang dan mengejar musuhnya. Dari sana
para pemain yang maju saling mengejar dan menghindar satu sama lainnya.
Jika seorang lamo yang maju kemudian ditangkap atau disentuh oleh lawan mainnya maka dia menjadi tawanan musuhnya.
Seorang lamo berusaha
mengejar dan menghindar dari lawan mainnya supaya tak jadi tawanan
musuhnya dan para personil yang berada pada markas bentengnya dapat
bergantian secara bergiliran untuk maju menyerang musuhnya. Demikian
seterusnya sehingga terjadi saling kejar mengejar antar personil kedua
benteng.
Pada sela-sela permainan sering
terjadi kehabisan personil karena ditawan dan bentengnya dikepung oleh
lawannya. Lawan pengepung ini dapat membebaskan teman-temannya yang juga
menjadi tawanan dan dijaga oleh personil di benteng lawannya. Setelah
dibebaskan, para mantan tawanan ini dapat turut mengepung benteng
lawannya. Sisa personil dari benteng yang terkepung dapat mengejar para
pengepung yang berstatus lamo untuk mempertahankan bentengnya,
atau balik mengirim penyerang ke benteng pengepung jika benteng para
pengepung tidak menjaganya.
Akhir Permainan
Satu kelompok dapat memengankan
permainan jika salah satu personil mereka dapat menyentuh benteng lawan
tanpa disentuh oleh lawan yang mempertahankan benteng yang diserang
tersebut. Setelah ada yang menang dan kalah, maka permainan selesai dan
dapat dimulai kembali permainan bebentengan tersebut dari awal.
Egrang
Permainan yang satu ini berbeda dengan permainan bebentengan
yang konsep permainannya membutuhkan lahan kosong yang cukup luas,
pemain yang cukup banyak dan mengandalkan kerjasama tim. Egrang yang
permainannya cukup sulit dilakukan oleh orang awam atau bagi orang yang
masih pemula untuk memainkannya. Permainan ini membutuhkan keseimbangan
raga kita dalam memainkannya. Kenapa bisa begitu, karena si pemain harus
berusaha menyeimbangkan berat dan tinggi tubuhnya dalam pijakan dua
buah batang bambu yang menopang kedua kakinya untuk berjalan.
Pemain
Permainan egrang dapat
dikategorikan sebagai permainan anak-anak. Pada umumnya permainan ini
dilakukan dilakukan oleh anak laki-laki yang berusia 7-13 tahun.
Tempat dan Peralatan Permainan
Permainan egrang ini tidak
membutuhkan tempat (lapangan) yang khusus. Egrang dapat dimainkan di
mana saja, asalkan di atas tanah. Jadi, dapat di tepi pantai, di tanah
lapang atau di jalan. Peralatan yang digunakan adalah dua batang bambu
bata (volo vatu) yang relatif lurus dan sudah tua dengan panjang
masing-masing antara 1,5-3 meter. Cara membuatnya adalah sebagai
berikut. Mula-mula bambu dipotong menjadi dua bagian yang panjangnya
masing-masing sekitar 2½-3 meter. Setelah itu, dipotong lagi bambu yang
lain menjadi dua bagian dengan ukuran masing-masing sekitar 20-30 cm
untuk dijadikan pijakan kaki. Selanjutnya, salah satu ruas bambu yang
berukuran panjang dilubangi untuk memasukkan bambu yang berukuran
pendek. Setelah bambu untuk pijakan kaki terpasang, maka bambu tersebut
siap untuk digunakan.
Aturan Permainan
Aturan permainan egrang dapat
dibagi menjadi dua, yaitu perlombaan lari dan pertandingan untuk saling
menjatuhkan dengan cara saling memukulkan kaki-kaki bambu. Perlombaan
adu kecepatan biasanya dilakukan oleh anak-anak yang berusia antara 7-11
tahun dengan jumlah 2-5 orang. Sedangkan, permainan untuk saling
menjatuhkan lawan biasanya dilakukan oleh anak-anak yang berusia antara
11-13 tahun dengan menggunakan sistem kompetisi.
Jalannya Permainan
Apabila permainan hanya berupa adu kecepatan (lomba lari), maka diawali dengan berdirinya 3-4 pemain di garis start
sambil menaiki bambu masing-masing. Bagi anak-anak yang kurang tinggi
atau baru belajar bermain egrang, mereka dapat menaikinya dari tempat
yang agak tinggi atau menggunakan tangga dan baru berjalan ke arah garis
start. Apabila telah siap, orang lain yang tidak ikut bermain
akan memberikan aba-aba untuk segera memulai permainan. Mendengar
aba-aba itu, para pemain akan berlari menuju garis finish. Pemain yang lebih dahulu mencapai garis finish
dinyatakan sebagai pemenangnya. Sedangkan, apabila permainan bertujuan
untuk mengadu bambu masing-masing pemain, maka diawali dengan pemilihan
dua orang pemain yang dilakukan secara musyawarah/mufakat.
Setelah itu, mereka akan
berdiri berhadapan. Apabila telah siap, peserta lain yang belum mendapat
giliran bermain akan memberikan aba-aba untuk segera memulai permainan.
Mendengar aba-aba itu, kedua pemain akan mulai mengadukan bambu-bambu
yang mereka naiki. Pemain yang dapat menjatuhkan lawan dari bambu yang
dinaikinya dinyatakan sebagai pemenangnya. Permainan ini cukup populer,
apalagi ketika banyak diadakan pelbagai pagelaran perlombaan 17 Agustus-an tiap tahun di berbagai daerah di Indonesia.
Nilai Budaya
Nilai budaya yang terkandung
dalam permainan egrang adalah kerja keras, keuletan, dan sportivitas.
Nilai kerja keras tercermin dari semangat para pemain yang berusaha agar
dapat mengalahkan lawannya. Nilai keuletan tercermin dari proses
pembuatan alat yang digunakan untuk berjalan yang memerlukan keuletan
dan ketekunan agar seimbang dan mudah digunakan untuk berjalan. Dan,
nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang
tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau
menerima kekalahan dengan lapang dada.
*Penulis, Ketua Umum LPM Unpas Bandung yang hampir beres J
Sekjen Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Bandung 2013-2014
0 komentar:
Posting Komentar